Biasanya,pada saat menjelang tahun
baru kita pasti melakukan berbagai macam kegiatan untuk menyambutnya. Dan
kegiatan tersebut tentunya ndak lepas juga dari upaya introspeksi diri dan
harapan-harapan. Introspeksi diri itu dilakukan tentunya berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan di tahun lalu, apakah perbuatannya itu sudah bermanfaat
bagi diri sendiri dan masyarakat atau justru malah merugikan orang lain?
Jika masih banyak merugikan orang lain, tentunya harus diperbaiki dong. Bukan malah merayakannya dengan tujuan hanya ingin bersenang-senang saja. Memang sih untuk memahami makna tahun baru, pada akhirnya harus dikembalikan juga ke diri kita masing-masing sebagai pencipta budaya itu sendiri.
Bagi masyarakat Jawa, kegiatan menyambut bulan Suro ini sudah berlangsung sejak berabad – abad yg lalu. Dan kegiatan yg berulang – ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan serta menjadi tradisi yg pasti dilakukan di setiap tahunnya. Itulah yg kemudian disebut budaya dan menjadi ciri khas bagi komunitasnya.
Namun kalau dicermati, tradisi di bulan Suro yg dilakukan oleh masyarakat Jawa ini adalah sebagai upaya untuk menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspodo. Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning dumadi (asal mulanya), menyadari kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dan tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Waspodo, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan awas terhadap segala godaan yg sifatnya menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari Sang Pencipta, sehingga dapat menyulitkan kita dalam mencapai manunggaling kawula gusti (bersatunya makhluk dan Sang Khalik).
Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi masyarakatnya juga disebut bulan yg sangat sakral karena dianggap bulan yg suci atau bulan untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, serta mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Cara yang dilakukan biasanya disebut dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yg ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah esensi dari kegiatan budaya yg dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Suro. Tentunya makna ini juga didapatkan ketika bulan Poso (Ramadhan, Tahun Hijriyah), khususnya yg memeluk agama Islam. Lelaku yg dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai media introspeksi biasanya banyak sekali caranya. Ada yg melakukan lelaku dengan cara nenepi (meditasi untuk merenungi diri) di tempat – tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam para wali, gua dan sebagainya. Ada juga yg melakukannya dengan cara lek – lekan (berjaga semalam suntuk tanpa tidur hingga pagi hari) di tempat-tempat umum seperti di alun-alun,pinggir pantai, dan sebagainya.
Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng kraton sambil membisu. Begitu pula untuk menghormati bulan yg sakral ini, sebagian masyarakat Jawa melakukan tradisi syukuran kepada Tuhan pemberi rejeki, yaitu dengan cara melakukan labuhan dan sedekahan di pantai, labuhan di puncak gunung, merti dusun atau suran, atau lainnya. Dan karena bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yg baik untuk mensucikan diri, maka sebagian masyarakat lain, melakukan kegiatan pembersihan barang-barang berharga, seperti jamasan keris pusaka, jamasan kereta, pengurasan enceh di makam-makam, dan sebagainya. Ada juga yg melakukan kegiatan sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas wayang kulit, ketoprak, nini thowok, dan kesenian tradisional lainnya. Apapun yg dilakukan boleh saja terjadi asal esensinya adalah dalam rangka perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.
Namun akibat perkembangan zaman serta semakin heterogennya masyarakat suatu komunitas dan juga karena dampak dari berbagai kepentingan yg sangat kompleks, lambat laun banyak masyarakat terutama yg awam terhadap budaya tradisional, ndak lagi mengetahui dengan jelas di balik makna asal tradisi budaya bulan Suro ini. Mereka umumnya hanya ikut-ikutan, seperti beramai-ramai menuju pantai, mendaki gunung, bercanda ria sambil mengelilingi benteng, berbuat kurang sopan di tempat-tempat keramat dan sebagainya. Maka ndak heran jika mereka menganggap bahwa bulan Suro itu ndak ada bedanya dengan bulan-bulan yg lain. Di sisi lain, ternyata kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa sendiri enggan untuk melakukan kegiatan yg bersifat sakral, misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat mereka hindari. Entah kepercayaan ini muncul sejak kapan, saya juga ndak tahu. Namun yg jelas sampai sekarang pun mayoritas masyarakat Jawa ndak berani menikahkan anaknya di bulan Suro.
Ada sebagian masyarakat Jawa yg percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan yg konon ceritanya setiap bulan Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (ndak ada yg tahu berapa jumlah anaknya) sehingga masyarakat Jawa yg punya gawe di bulan Suro ini diyakini penganten atau keluarganya ndak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik berupa tragedi cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya.
Entah kebenaran itu ada atau tidak, yg jelas masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak. Padahal bagi pemeluk agama Islam, dan mungkin juga pemeluk agama lain, bahwa semua hari dan bulan itu baik untuk melakukan kegiatan apapun termasuk menikahkan anak. Aneh memang, itulah kepercayaan. Akankah masyarakat Jawa di masa mendatang punya cara lain lagi dalam memaknai bulan Suro ? Jawabannya ada pada anak cucu kita sebagai generasi penerus.
Jika masih banyak merugikan orang lain, tentunya harus diperbaiki dong. Bukan malah merayakannya dengan tujuan hanya ingin bersenang-senang saja. Memang sih untuk memahami makna tahun baru, pada akhirnya harus dikembalikan juga ke diri kita masing-masing sebagai pencipta budaya itu sendiri.
Bagi masyarakat Jawa, kegiatan menyambut bulan Suro ini sudah berlangsung sejak berabad – abad yg lalu. Dan kegiatan yg berulang – ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan serta menjadi tradisi yg pasti dilakukan di setiap tahunnya. Itulah yg kemudian disebut budaya dan menjadi ciri khas bagi komunitasnya.
Namun kalau dicermati, tradisi di bulan Suro yg dilakukan oleh masyarakat Jawa ini adalah sebagai upaya untuk menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspodo. Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning dumadi (asal mulanya), menyadari kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dan tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Waspodo, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan awas terhadap segala godaan yg sifatnya menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari Sang Pencipta, sehingga dapat menyulitkan kita dalam mencapai manunggaling kawula gusti (bersatunya makhluk dan Sang Khalik).
Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi masyarakatnya juga disebut bulan yg sangat sakral karena dianggap bulan yg suci atau bulan untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, serta mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Cara yang dilakukan biasanya disebut dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yg ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah esensi dari kegiatan budaya yg dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Suro. Tentunya makna ini juga didapatkan ketika bulan Poso (Ramadhan, Tahun Hijriyah), khususnya yg memeluk agama Islam. Lelaku yg dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai media introspeksi biasanya banyak sekali caranya. Ada yg melakukan lelaku dengan cara nenepi (meditasi untuk merenungi diri) di tempat – tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam para wali, gua dan sebagainya. Ada juga yg melakukannya dengan cara lek – lekan (berjaga semalam suntuk tanpa tidur hingga pagi hari) di tempat-tempat umum seperti di alun-alun,pinggir pantai, dan sebagainya.
Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng kraton sambil membisu. Begitu pula untuk menghormati bulan yg sakral ini, sebagian masyarakat Jawa melakukan tradisi syukuran kepada Tuhan pemberi rejeki, yaitu dengan cara melakukan labuhan dan sedekahan di pantai, labuhan di puncak gunung, merti dusun atau suran, atau lainnya. Dan karena bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yg baik untuk mensucikan diri, maka sebagian masyarakat lain, melakukan kegiatan pembersihan barang-barang berharga, seperti jamasan keris pusaka, jamasan kereta, pengurasan enceh di makam-makam, dan sebagainya. Ada juga yg melakukan kegiatan sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas wayang kulit, ketoprak, nini thowok, dan kesenian tradisional lainnya. Apapun yg dilakukan boleh saja terjadi asal esensinya adalah dalam rangka perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.
Namun akibat perkembangan zaman serta semakin heterogennya masyarakat suatu komunitas dan juga karena dampak dari berbagai kepentingan yg sangat kompleks, lambat laun banyak masyarakat terutama yg awam terhadap budaya tradisional, ndak lagi mengetahui dengan jelas di balik makna asal tradisi budaya bulan Suro ini. Mereka umumnya hanya ikut-ikutan, seperti beramai-ramai menuju pantai, mendaki gunung, bercanda ria sambil mengelilingi benteng, berbuat kurang sopan di tempat-tempat keramat dan sebagainya. Maka ndak heran jika mereka menganggap bahwa bulan Suro itu ndak ada bedanya dengan bulan-bulan yg lain. Di sisi lain, ternyata kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa sendiri enggan untuk melakukan kegiatan yg bersifat sakral, misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat mereka hindari. Entah kepercayaan ini muncul sejak kapan, saya juga ndak tahu. Namun yg jelas sampai sekarang pun mayoritas masyarakat Jawa ndak berani menikahkan anaknya di bulan Suro.
Ada sebagian masyarakat Jawa yg percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan yg konon ceritanya setiap bulan Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (ndak ada yg tahu berapa jumlah anaknya) sehingga masyarakat Jawa yg punya gawe di bulan Suro ini diyakini penganten atau keluarganya ndak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik berupa tragedi cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya.
Entah kebenaran itu ada atau tidak, yg jelas masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak. Padahal bagi pemeluk agama Islam, dan mungkin juga pemeluk agama lain, bahwa semua hari dan bulan itu baik untuk melakukan kegiatan apapun termasuk menikahkan anak. Aneh memang, itulah kepercayaan. Akankah masyarakat Jawa di masa mendatang punya cara lain lagi dalam memaknai bulan Suro ? Jawabannya ada pada anak cucu kita sebagai generasi penerus.
Pengertian Malam Satu Suro di Jawa
Kedatangan tahun baru biasanya
ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta kembang api, keramaian
tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun.
Lain halnya dengan pergantian tahun
baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan
kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri.
Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat
Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam
suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa).
Bahkan sebagian orang memilih
menyepi untuk bersemedi di tempat sakaral seperti puncak gunung, tepi laut,
pohon besar, atau di makam keramat.
Ritual 1 Suro telah dikenal
masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi).
Saat itu masyarakat Jawa masih
mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu.
Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender
Hijriah.
Sebagai upaya memperluas ajaran
Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan
Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro
sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci,
bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk
mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.
Cara yang biasa digunakan masyarakat
Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa
nafsu.
Lelaku malam 1 Suro, tepat pada
pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton
Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Di Kraton Surakarta Hadiningrat
kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah.
Kebo Bule merupakan hewan kesayangan
Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya
adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian
diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen
dan Wonogiri.
Sementara itu di Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda
pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta
dan sekitarnya.
Selama melakukan ritual mubeng
beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa.
Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.
Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga
diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih
banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan
tirakatan atau selamatan.
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa
meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia
harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.
Sedangkan waspada berarti manusia
juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
Karenanya dapat dipahami jika
kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan
Suro.
Pesta pernikahan yang biasanya
berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang
harus dijalani selama bulan Suro.
Terlepas dari mitos yang beredar
dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama
bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar lebih mawas
diri.
Dan bukankah introspeksi tak cukup
dilakukan semalam saat pergantian tahun saja? Makin panjang waktu yang
digunakan untuk introspeksi, niscaya makin bijak kita menyikapi hidup ini.
Inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.
Misteri
Di balik Bulan Sura
MISTERI BULAN SURA
Bulan Sura adalah bulan pertama dalam kalender Jawa.
Tanggal 1 Sura akan jatuh pada hari Senin tanggal 29 Desember 2008. Secara
lugas maknanya adalah merupakan tahun baru menurut penanggalan Jawa. Bagi
pemegang tradisi Jawa hingga kini masih memiliki pandangan bahwa bulan
Sura merupakan bulan sakral. Berikut ini saya paparkan arti bulan Sura secara
maknawi dan dimanakah letak kesakralannya.
MELURUSKAN BERITA “burung”
Tradisi dan kepercayaan Jawa melihat bulan Sura sebagai
bulan sakral. Bagi yang memiliki talenta sensitifitas indera keenam (batin)
sepanjang bulan Sura aura mistis dari alam gaib begitu kental melebihi
bulan-bulan lainnya. Tetapi sangat tidak bijaksana apabila kita buru-buru
menganggapnya sebagai bentuk paham syirik dan kemusrikan. Anggapan seperti itu
timbul karena disebabkan kurangnya pemahaman sebagian masyarakat akan
makna yang mendalam di baliknya. Musrik atau syirik berkaitan
erat dengan cara pandang batiniah dan suara hati, jadi sulit menilai hanya
dengan melihat manifestasi perbuatannya saja. Jika musrik dan syirik
diartikan sebagai bentuk penyekutuan Tuhan, maka punishment terhadap
tradisi bulan Sura itu jauh dari kebenaran, alias tuduhan tanpa didasari
pemahaman yang jelas dan beresiko tindakan pemfitnahan. Biasanya anggapan
musrik dan sirik muncul karena mengikuti trend atau ikut-ikutan pada perkataan
seseorang yang dinilai secara dangkal layak menjadi panutan. Padahal tuduhan
itu jelas merupakan kesimpulan yang bersifat subyektif dan mengandung stigma,
dan sikap menghakimi secara sepihak.
Masyarakat Jawa mempunyai kesadaran makrokosmos,
bahwa Tuhan menciptakan kehidupan di alam semesta ini mencakup berbagai dimensi
yang fisik (wadag) maupun metafisik (gaib). Seluruh penghuni
masing-masing dimensi mempunyai kelebihan maupun kekurangan. Interaksi antara
dimensi alam fisik dengan dimensi metafisik merupakan interaksi yang
bersimbiosis mutual, saling mengisi mewujudkan keselarasan dan keharmonisan
alam semesta sebagai upaya memanifestasikan rasa sukur akan karunia terindah
dari Tuhan YME. Sehingga manusia bukanlah segalanya di hadapan Tuhan, dan
dibanding mahluk Tuhan lainnya. Manusia tidak seyogyanya mentang-mentang
mengklaim dirinya sendiri sebagai mahluk paling sempurna dan mulia,
hanya karena akal-budinya. Selain kesadaran makrokosmos, sebaliknya di sisi
lain kesadaran mikrokosmos Javanisme bahwa akal-budi
ibarat pisau bermata dua, di satu sisi dapat memuliakan manusia
tetapi di sisi lain justru sebaliknya akan menghinakan manusia, bahkan
lebih hina dari binatang, maupun mahluk gaib jahat sekalipun.
Berdasarkan dua dimensi kesadaran itu, tradisi Jawa
memiliki prinsip hidup yakni pentingnya untuk menjaga keseimbangan dan
kelestarian alam semesta agar supaya kelestarian alam tetap terjaga sepanjang
masa. Menjaga kelestarian alam merupakan perwujudan syukur tertinggi
umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan bumi ini
berikut seluruh isinya untuk dimanfaatkan umat manusia.
Dalam tradisi Jawa sekalipun yang dianggap paling klenik
sekalipun, prinsip dasar yang sesungguhnya tetaplah PERCAYA KEPADA TUHAN
YME. Di awal atau di akhir setiap kalimat doa dan mantra selalu diikuti
kalimat; saka kersaning Gusti, saka kersaning Allah. Semua media
dalam ritual, hanya sebatas dipahami sebagai media dan kristalisasi dari
simbol-simbol doa semata. Doa yang ditujukan hanya kepada Tuhan Yang Maha
Tunggal. Prinsip tersebut memproyeksikan bahwa kaidah dan prinsip religiusitas
ajaran Jawa tetap jauh dari kemusrikan maupun syirik yang menyekutukan Tuhan.
Cara pandang tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki
tradisi yang unik dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tipikal
tradisi Jawa kental akan penjelajahan wilayah gaib sebagai konsekuensi adanya
interaksi manusia terhadap lingkungan alam dan seluruh isinya. Lingkungan alam
dilihat memiliki dua dimensi, yakni fana/wadag atau fisik, dan
lingkungan dimensi gaib atau metafisik. Lingkungan alam tidak sebatas
apa yang tampak oleh mata, melainkan meliputi pula lingkungan yang tidak tampak
oleh mata (gaib). Boleh dikatakan pemahaman masyarakat Jawa akan lingkungan
atau dimensi gaib sebagai bentuk “keimanan“ (percaya) kepada yang gaib. Bahkan
oleh sebagian masyarakat Jawa, unsur kegaiban tidak hanya sebatas diyakini atau
diimani saja, tetapi lebih dari itu seseorang dapat membuktikannya dengan
bersinggungan atau berinteraksi secara langsung dengan yang gaib sebagai bentuk
pengalaman gaib. Oleh karena itu, bagi masyarakat Jawa dimensi gaib merupakan
sebuah realitas konkrit. Hanya saja konkrit dalam arti tidak selalu dilihat
oleh mata kasar, melainkan konkrit dalam arti Jawa yakni termasuk hal-hal yang
dapat dibuktikan melalui indera penglihatan maupun indera batiniah.
Meskipun demikian penjelasan ini mungkin masih sulit dipahami bagi pihak-pihak yang
belum pernah samasekali bersinggungan dengan hal-hal gaib. Sehingga
cerita-cerita maupun kisah-kisah gaib dirasakan menjadi tidak masuk akal,
sebagai hal yang mustahal, dan menganggap pepesan kosong belaka. Pendapat
demikian sah-sah saja, sebab tataran pemahaman gaib memang tidak semua orang
dapat mencapainya. Yang merasa mampu memahamipun belum tentu tapat dengan
realitas gaib yang sesungguhnya. Sedangkan agama sebatas memaparkan yang
bersifat universal, garis besar, dan tidak secara rinci. Perincian mendetail
tentang eksistensi alam gaib merupakan rahasia ilmu Tuhan Yang Maha Luas,
tetapi Tuhan Maha Adil tetap memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk
mengetahuinya walaupun sedikit namun dengan sarat-sarat yang berat dan tataran
yang tidak mudah dicapai.
MISTERI BULAN SURA
Bulan Sura adalah bulan baru yang digunakan dalam
tradisi penanggalan Jawa. Di samping itu bagi masyarakat Jawa adalah
realitas pengalaman gaib bahwa dalam jagad makhluk halus pun mengikuti sistem
penanggalan sedemikian rupa. Sehingga bulan Sura juga merupakan bulan
baru yang berlaku di jagad gaib. Alam gaib yang dimaksudkan adalah; jagad
makhluk halus ; jin, setan (dalam konotasi Jawa; hantu), siluman,
benatang gaib, serta jagad leluhur ; alam arwah, dan bidadari. Antara
jagad fana manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus
berbeda-beda dimensinya. Tetapi dalam berinteraksi antara jagad
leluhur dan jagad mahluk halus di satu sisi, dengan jagad manusia di sisi
lain, selalu menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jum’at
Kliwon (Jawa; Jemuah) dilihat sebagai malam suci paling agung yang biasa
digunakan para leluhur “turun ke bumi” untuk njangkung dan njampangai
(membimbing) bagi anak turunnya yang menghargai dan menjaga hubungan dengan
para leluhurnya. Demikian pula, dalam bulan Sura juga merupakan bulan paling sakral
bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan mendapat “dispensasi” untuk melakukan
seleksi alam. Bagi siapapun yang hidupnya tidak eling dan waspada,
dapat terkena dampaknya.
Dalam siklus hitungan waktu tertentu yang merupakan
rahasia besar Tuhan, terdapat suatu bulan Sura yang bernama Sura Duraka.
Disebut sebagai bulan Sura Duraka karena merupakan bulan di mana terjadi
tundan dhemit. Tundan dhemit maksudnya adalah suatu waktu di mana
terjadi akumulasi para dedemit yang mencari “korban” para manusia yang
tidak eling dan waspadha. Karena pada bulan-bulan Sura biasa para
dedhemit yang keluar tidak sebanyak pada saat bulan Sura Duraka. Sehingga pada bulan Sura Duraka biasanya ditandai banyak
sekali musibah dan bencana melanda jagad manusia. Bulan Sura Duraka ini pernah
terjadi sepanjang bulan Januari s/d Februari 2007. Musibah banyak terjadi
di seantero negeri ini. 1) Di awali tenggelamnya KM Senopati di laut Banda yang
terkenal sebagai palung laut terdalam di wilayah perairan Indonesia. Kecelakaan
ini memakan korban ratusan jiwa. 2) Kecelakaan Pesawat Adam Air hilang tertelan
di palung laut dekat teluk Mandar, posisi di 40 mil barat laut Majene. 3)
Kereta api mengalami anjlok dan terguling sampai 3 kali kasus selama sebulan.
4) Tabrakan bus di pantura, bus menyeruduk rumah penduduk. 5) Kecelakaan
pesawat garuda di Yogyakarta. 6) Beberapa maskapai penerbangan mengalami gagal
take off, gagal landing, mesin error dsb. 7) Jakarta dilanda banjir terbesar
sepanjang masa. 8) Kapal terbakar di Sulawesi dan maluku. 9) Kapal laut di
selat Karimun terbakar lalu tenggelam memakan ratusan korban berikut wartawan
TV peliput berita. 10) Banjir besar di Jawa Tengah, Angin puting beliung
sepanjang Pulau Jawa-Sumatra. Dan masih banyak lagi kecelakaan pribadi
yang waktu itu Kapolri sempat menyatakan sebagai bulan kecelakaan terbanyak
meliputi darat, laut dan udara.
Atas beberapa uraian pandangan masyarakat Jawa tersebut
kemudian muncul kearifan yang kemudian mengkristal menjadi tradisi masyarakat
Jawa selama bulan Sura. Sedikitnya ada 5 macam ritual yang dilakukan
menjelang dan selama bulan Sura seperti berikut ini;
1. Siraman malam 1
Sura; mandi besar
dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah
raga” (sariat) dengan tujuan mensucikan badan, sebagai acara seremonial
pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih ketat
dalam menjaga dan mensucikan hati, fikiran, serta menjaga panca indera dari
hal-hal negatif. Pada saat dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa memohon
keselamatan kepada Tuhan YME agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana,
musibah, kecelakaan. Doanya dalam satu fokus yakni memohon keselamatan diri dan
keluarga, serta kerabat handai taulan. Doa tersirat dalam setiap langkah ritual
mandi. Misalnya, mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan
sebanyak 7 kali siraman gayung (7 dalam bahasa Jawa; pitu, merupakan doa
agar Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan). Atau 11 kali (11
dalam bahasa Jawa; sewelas, merupakan doa agar Tuhan memberikan kawelasan;
belaskasih). Atau 17 kali (17 dalam bahasa Jawa; pitulas; agar supaya
Tuhan memberikan pitulungan dan kawelasan). Mandi lebih bagus
dilakukan tidak di bawah atap rumah; langsung “beratap langit”; maksudnya
adalah kita secara langsung menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi
alam semesta.
2. Tapa Mbisu (membisu);
tirakat sepanjang bulan Sura berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar
mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat,
doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari
mulut dapat “numusi” atau terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar
mencelakai diri sendiri maupun orang lain.
3. Lebih
Menggiatkan Ziarah; pada bulan Sura masyarakat Jawa lebih menggiatkan
ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang
yang dahulu telah berjasa untuk kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri
nusantara ini ada. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit generasi
penerus untuk menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden).
Cara menghormati dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan,
tentunya dengan merawat makam beliau. Sebab makam merupakan monumen
sejarah yang dapat dijadikan media mengenang jasa-jasa para leluhur;
mengenang dan mencontoh amal kebaikan beliau semasa hidupnya. Di samping itu
kita akan selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Asal-usul kita ada
di dunia ini adalah dari turunan beliau-beliau. Dan suatu saat nanti kita semua
pasti akan berpulang ke haribaan Tuhan Yang maha Kuasa. Mengapa harus datang ke
makam, tentunya atas kesadaran bahwa semua warisan para leluhur baik berupa
ilmu, kebahagiannya, tanah kemerdekaan, maupun hartanya masih bisa dinikmati hingga
sekarang, dan dinikmati oleh semua anak turunnya hingga kini. Apakah sebagai
keturunannya kita masih tega hanya dengan mendoakan saja dari rumah ? Jika
direnungkan secara mendalam menggunakan hati nurani, sikap demikian tidak lebih
dari sekedar menuruti egoisme pribadi (hawa nafsu negatif) saja. Anak turun
yang mau enaknya sendiri enggan datang susah-payah ke makam para leluhurnya,
apalagi terpencil nun jauh harus pergi ke pelosok desa mendoakan dan merawat
seonggok makam yang sudah tertimbun semak belukar. Betapa
teganya hati kita, bahkan dengan mudahnya
mencari-cari alasan pembenar untuk kemalasannya sendiri, bisa saja
menggunakan alasan supaya menjauhi kemusyrikan. Padahal kita semua tahu,
kemusyrikan bukan lah berhubungan dengan perbuatan, tetapi berkaitan erat
dengan hati. Jangan-jangan sudah menjadi prinsip bawah sadar sebagian
masyarakat kita, bahwa lebih enak menjadi orang bodoh, ketimbang menjadi
orang winasis dan prayitna tetapi konsekuensinya tidak ringan.
4. Menyiapkan
sesaji bunga setaman dalam wadah berisi air bening. Diletakkan di dalam
rumah. Selain sebagai sikap menghargai para leluhur yang njangkung dan njampangi
anak turun, ritual ini penuh dengan makna yang dilambangkan dalam uborampe.
Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga. Masing-masing bunga
memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan YME yang tersirat di dalamnya (silahkan
dibaca dalam forum tanya jawab). Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara
para leluhur, agar supaya terdapat perbedaan antara makam seseorang yang
kita hargai dan hormati, dengan kuburan seekor kucing yang berupa
gundukan tanah tak berarti dan tidak pernah ditaburi bunga, serta-merta
dilupakan begitu saja oleh pemiliknya berikut anak turunnya si kucing.
5. Jamasan pusaka; tradisi ini
dilakukan dalam rangka merawat atau memetri warisan dan kenang-kenangan
dari para leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik
bendanya. Pusaka merupakan buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan
ketrampilan para leluhur kita di masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah
hidup yang begitu tinggi. Selain itu pusaka menjadi situs dan monumen sejarah,
dan memudahkan kita simpati dan berimpati oleh kemajuan teknologi dan kearifan
lokal para perintis bangsa terdahulu. Dari sikap menghargai lalu tumbuh menjadi
sumber inspirasi dan motivasi bagi generasi penerus bangsa agar berbuat lebih
baik dan maju di banding prestasi yang telah diraih para leluhur kita di masa
lalu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para leluhurnya, para
pahlawannya, dan para perintisnya. Karena mereka semua menjadi sumber
inspirasi, motivasi dan tolok ukur atas apa yang telah kita perbuat dan kita
gapai sekarang ini. Dengan demikian generasi penerus bangsa tidak akan mudah
tercerabut (disembeded) dari “akarnya”. Tumbuh berkembang menjadi bangsa
yang kokoh, tidak menjadi kacung dan bulan-bulanan budaya, tradisi, ekonomi,
dan politik bangsa asing. Kita sadari atau tidak, tampaknya telah lahir megatrend
terbaru abad ini, sekaligus paling berbahaya, yakni merebaknya bentuk the
newest imperialism melalui cara-cara politisasi agama.
6. Larung
sesaji; larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe ritual
disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi
budaya ini yang paling riskan dianggap musrik. Betapa tidak, jikalau kita hanya
melihat apa yang tampak oleh mata saja tanpa ada pemahaman makna esensial dari
ritual larung sesaji. Baiklah, berikut saya tulis tentang konsep pemahaman atau
prinsip hati maupun pola fikir mengenai tradisi ini. Pertama;
dalam melaksanakan ritual hati kita tetap teguh pada keyakinan bahwa Tuhan
adalah Maha Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha Kuasa menjadi
satu-satunya penentu kodrat. Kedua; adalah nilai filosofi, bahwa
ritual larung sesaji merupakan simbol kesadaran makrokosmos yang bersifat
horisontal, yakni penghargaan manusia terhadap alam. Disadari bahwa alam
semesta merupakan sumber penghidupan manusia, sehingga untuk melangsungkan
kehidupan generasi penerus atau anak turun kita, sudah seharusnya kita menjaga
dan melestarikan alam. Kelestarian alam merupakan warisan paling berharga untuk
generasi penerus. Ketiga; selain kedua hal di atas, larung sesaji
merupakan bentuk interaksi harmonis antara manusia dengan seluruh unsur alam
semesta. Disadari pula bahwa manusia hidup di dunia berada di tengah-tengah
lingkungan bersifat kasat mata atau jagad fisik, maupun gaib atau jagad
metafisik. Kedua dimensi jagad tersebut saling bertetanggaan, dan keadaannya
pun sangat kompleks. Manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan seyogyanya
menjaga keharmonisan dalam bertetangga, sama-sama menjalani kehidupan sebagai
makhluk ciptaan Tuhan. Sebaliknya, bilamana dalam hubungan
bertetangga (dengan alam) tidak harmonis, akan mengakibatkan situasi dan
kondisi yang destruktif dan merugikan semua pihak. Maka seyogyanya jalinan
keharmonisan sampai kapanpun tetap harus dijaga.